Sebelum Sobat Cengkir tergesa-gesa menyimpulkan seperti di atas, kita perlu memahami bahwa setiap momen dalam kehidupan memiliki pemaknaannya tersendiri yang dapat menjadi pembelajaran bagi kita.
Hal yang sama seperti Halloween, ada beberapa hal yang dapat kita ulik dan refleksikan dari pergerakan pemaknaan Halloween. Maka, mari kita coba pahami Halloween sebagai bagian dari Kebudayaan, Keagamaan dan Kapitalisasi
Halloween sebagai bagian kebudayaan
Halloween berasal dari budaya paganisme dan witchcraft yang dihidupi masyarakat Celtic kuno, pada 2.000 tahun lalu, yaitu ritual Samhain. Paham ini relatif mirip dengan animisme dan dinamisme yang dihidupi oleh masyarakat Indonesia tradisional.

Masyarakat Celtic kuno memercayai bahwa pada malam di akhir bulan Oktober adalah momen ketika batasan antara dunia yang hidup dan yang mati menjadi kabur. Hal ini mengakibatkan masyarakat dapat bertemu dengan arwah orang mati yang mereka sayangi.
Agar hal tersebut dapat terjadi, Druid (semacam dukun) memimpin ritual Samhain. Ritual tersebut dilakukan dengan menari mengelilingi api unggun besar hingga ada orang yang kerasukan arwah orang mati yang diharapkan.
Jejak dari ritual Celtic kuno ini dapat kita lihat contohnya dalam film Coco, garapan Pixar Animation Studios. Jika kita menempatkan diri dengan sudut pandang masyarakat Celtic kuno, maka kita dapat merasakan kebahagiaan karena bertemu dengan orang terkasih. Hal yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut menjadi sebuah budaya bagi masyarakat Celtic kuno.
Halloween sebagai bagian keagamaan
Pada 43 M, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan sebagian besar wilayah Celtic, maka budaya dari wilayah yang terjajah juga turut dipengaruhi. Ritus “All Saints Day” dicetuskan oleh Paus Bonifasius IV untuk mendedikasikan kuil Pantheon di Roma kepada Perawan Maria yang Terberkati, pada Mei 609.
Pada abad kedelapan Paus Gregorius III mengubah All Saints Day menjadi 1 November sebagai waktu untuk menghormati semua orang kudus. Hal ini berkaitan dengan pengaruh budaya Celtic kuno, di mana 31 Oktober merupakan waktu terjadinya ritual Samhain. Oleh sebab itu, malam 31 Oktober dikenal sebagai All Saints’ Eve atau juga All Hallow’s Eve, malam orang-orang yang dianggap kudus/keramat.

Salah satu tradisi dan praktik dari All Saints Day adalah menghadiri Misa. Dalam Misa tersebut, umat Katolik mengingat akan orang-orang kudus melalui Ekaristi. Tradisi lain yang dilakukan adalah mengingat dan mempelajari kebaikan tentang orang-orang kudus, berdoa kepada orang-orang kudus (Santo) dan meminta syafaat mereka agar kita juga dapat menjadi orang-orang kudus.
Selain itu Gereja Katolik Roma juga mengadakan perayaan “All Souls Day” pada 2 November. Dalam Hari Arwah, banyak orang yang dianggap berdosa harus mengalami pengudusan melalui api penyucian (purgatory) agar kelak layak masuk surga. Dalam Hari Arwah umat Katolik mengenang dan mempersembahkan doa bagi semua orang beriman yang berada di api penyucian.
Halloween sebagai bagian kapitalisasi
Seiring berkembangnya Gereja Katolik Roma, praktik menjual surat penghapusan hutang dosa (indulgensi) terjadi. Konsep terkait indulgensi ini berkait erat dengan purgatory, sehingga Gerakan Reformasi yang dipelopori Martin Luther dinyatakan pada 31 Oktober yang mengoreksi indulgensi dan purgatory dengan tiga prinsip “sola gratia”, “sola fide”, dan “sola scriptura”. Hal ini yang menyebabkan All Saints’ Day dan All Souls Day tidak dirayakan oleh umat Kristen.

Memasuki abad 20, di mana banyak negara sudah mengurangi aktivitas invasi dan perang dengan wilayah lain, budaya pop dan paham kapitalisme tumbuh dan berkembang. All Hallows’ Eve yang sempat menjadi ritus keagamaan kini berganti dengan pesta kostum dengan tema seram atau fantasi. Berbagai produk dan jasa pun juga ditawarkan dengan gimmick Halloween agar menarik perhatian banyak orang.
Bagaimana kita memaknai kronologi dan momentum dalam kehidupan kita?
Sebagian dari kita mungkin tidak merayakan dan memaknai Halloween sebagai kronologi atau momentum hidup yang penting. Namun, banyak kronologi dan momentum dalam kehidupan kita, baik yang dulunya dalam catatan sejarah merupakan budaya Pagan atau yang menjadi bagian perayaan dalam agama Kristen, kini menjadi erat dengan budaya populer dan paham kapitalisme. Salah satunya adalah Natal.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Roma 12:2
Banyak momentum dalam kehidupan yang mungkin terlewat begitu saja. Atau mungkin kronologi tersebut kita maknai dengan sekadar kesenangan fana saja. Tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma maupun kepada kita, merupakan nasihat bahwa keseluruhan hidup kita secara holistik adalah sebuah persembahan bagi Allah.
Kita pun seharusnya memaknai setiap momentum dan kronologi yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bagian dari anugerah dari Allah kepada kita. Dengan hikmat yang datang dari pada-Nya, kiranya kita bisa merefleksikan hal-hal yang terjadi pada hidup kita dan tidak terbelenggu pada paham kapitalisme dan balutan budaya populer.
“For Capitalism, War & Peace Are Business And Nothing But Business.”
– Karl Liebknecht