“Bapak, Ibu, Saudara sekalian, mari kita naikkan ungkapan syukur dengan memberikan persembahan kita. Ayat persembahan pada kebaktian hari ini terambil dari…”
Kalimat tersebut tentu sudah akrab di telinga banyak umat Kristen. Ia menjadi pembuka ritus persembahan dalam ibadah Minggu, momen di mana jemaat memberikan persembahan dalam bentuk uang, sesuai dengan kerelaan hati.
Namun, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri—apakah persembahan yang kita berikan benar-benar lahir dari rasa syukur? Dan apakah persembahan itu hanya terbatas pada materi?
Persembahan sejati seharusnya melibatkan seluruh aspek kehidupan kita—hati, pikiran, waktu, tenaga, dan kesaksian kita. Dalam hal ini, Maria Magdalena merupakan salah satu tokoh Alkitab yang memberikan teladan bagaimana hidup bisa menjadi persembahan yang utuh kepada Tuhan.
Diselamatkan dan Bersyukur
Maria Magdalena adalah perempuan yang telah dibebaskan oleh Yesus dari tujuh roh jahat. Bayangkan, kerasukan satu roh jahat saja sudah sangat menyiksa, apalagi tujuh. Walaupun tidak dijelaskan secara detail bagaimana peristiwa pengusiran roh itu terjadi, kita bisa melihat respons Maria: ia menunjukkan rasa syukurnya secara nyata dan penuh kesungguhan.
“Dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat.”
— Lukas 8:2
Rasa syukur itu membuat Maria Magdalena tidak hanya menjadi pengikut Yesus secara pasif. Ia turut melayani, bahkan memberi dari kekayaannya untuk mendukung pelayanan Yesus dan para murid. Ini membuktikan bahwa persembahan bukan hanya tindakan simbolis, tetapi komitmen aktif yang lahir dari relasi pribadi dengan Kristus.
Memberi yang Terbaik
Dalam Injil, Maria Magdalena juga dikenal sebagai perempuan yang mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal harganya dan menyekanya dengan rambutnya. Ini bukan hanya tindakan kasih, tetapi simbol penyerahan total. Ia memberikan sesuatu yang sangat berharga secara materi, dan juga memberikan mahkota dirinya sebagai perempuan—rambutnya—untuk menyembah Sang Mesias.
Persembahan Maria bukanlah kewajiban, melainkan wujud kasih dan penghargaan. Ia memberi bukan karena harus, tetapi karena mau—karena sadar sepenuhnya akan anugerah yang telah ia terima.
Setia di Tengah Ketakutan
Kesetiaan Maria Magdalena juga tampak dalam peristiwa penyaliban. Saat para murid laki-laki melarikan diri karena takut ditangkap, Maria tetap tinggal bersama Maria, ibu Yesus, berdiri di dekat salib-Nya. Di tengah ancaman dan tekanan, ia memilih tetap hadir—menunjukkan keberanian dan kasih yang tak goyah.
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.”
— Yohanes 19:25
Kesetiaan ini menjadi cerminan bagaimana persembahan hidup bukan hanya tentang apa yang kita berikan, tetapi juga tentang kepada siapa kita setia, terutama dalam situasi sulit.
Saksi Kebangkitan yang Berani
Maria Magdalena bukan hanya saksi penyaliban. Ia juga menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus. Dalam budaya pada masa itu, kesaksian perempuan dianggap kurang valid dibandingkan laki-laki. Namun Yesus justru memilih Maria sebagai pemberita kabar sukacita pertama.
“Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid: ‘Aku telah melihat Tuhan!’ dan juga bahwa Dia yang mengatakan hal-hal itu kepadanya.”
— Yohanes 20:18
Maria tidak hanya melihat, tetapi juga menyampaikan. Ia tidak menyimpan kabar baik itu untuk dirinya sendiri, melainkan memberitakannya dengan penuh keberanian. Di sinilah kita melihat bahwa pemberian diri secara utuh juga mencakup keberanian untuk bersaksi, apapun tantangannya.
Persembahan Sejati: Hidup yang Menyatakan Kasih Tuhan
Dari kehidupan Maria Magdalena, kita belajar bahwa persembahan sejati bukanlah semata-mata soal uang, waktu, atau tindakan lahiriah. Persembahan sejati adalah hidup yang menyatakan kasih Tuhan—dalam syukur, pelayanan, kesetiaan, dan kesaksian. Untuk bisa memberikan hidup sebagai persembahan, kita perlu terlebih dahulu menyadari betapa besar kasih karunia yang telah kita terima dari Tuhan. Ketika hati dipenuhi syukur, maka memberi diri menjadi hal yang alami, bukan paksaan. Kiranya teladan Maria Magdalena menginspirasi kita untuk mempersembahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan—bukan hanya dalam ritus ibadah, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan kita setiap hari.
Tuhan Yesus Memberkati. Amin.