Tembok Kesombongan

Yesaya 55:1-9; Mazmur 63:2-9; 1 Korintus 10:1-13; Lukas 13:1-9

Masa Pra-Paska adalah kesempatan bagi kita untuk merenungkan hidup kita, mawas diri. Dengan mawas diri, kita disadarkan bahwa ada banyak tembok yang kita bangun semata-mata untuk melindungi diri kita sendiri, demi diri kita sendiri. Salah satu tembok yang begitu kokoh dan tinggi dalam diri kita adalah tembok kesombongan. Kesombongan telah merasuk pada semua aspek kehidupan, dari keluarga sampai kehidupan bersama dalam negara. Yang menyedihkan, kesombongan itu dibalut dengan hal-hal yang seolah-olah rohani, alkitabiah dan dogmatis.

Dalam cerita Injil yang kita baca hari ini, kita menemukan balutan kesombongan dalam kemasan agama. Ada dua cerita yang dituturkan Yesus dalam Injil kita hari ini. Cerita pertama terkait dengan tindakan Pilatus yang begitu mengerikan. Dengan sadisnya Pilatus membunuh orang-orang Galilea dan mencampur darahnya dengan darah korban binatang yang hendak mereka persembahkan. Orang Galilea memang sering dianggap sebagai pembuat onar. Watak mereka yang keras membuat mereka kerap terlibat dalam kekacauan politik.

Cerita yang kedua tentang delapan belas orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Ada penafsir yang menyatakan bahwa cerita ini berlatar belakang proyek pembangunan pengairan yang diprakarsai oleh Pilatus. Proyek yang ditentang oleh kebanyakan orang Yahudi.

Kejadian malapeta itu kemudian ditafsirkan sebagai akibat dari dosa mereka. Yesus menolak pemahaman semacam ini. Kata yang dipakai Yesus adalah “sangkamu.“ Mereka menilai berdasarkan prasangka negatif terhadap orang lain. Dalam prasangka tersimpan kesombongan rohani. Seolah mereka mengatakan saya lebih benar, saya lebih suci. Mereka kemudian jatuh pada sikap memandang rendah orang lain. Padahal Charles Talbert, seorang teolog mengingatkan bahwa “iman tidak pernah mengungkapkan diri dengan cara melecehkan orang.“

Yesus memanggil mereka pada pertobatan. Bertobat adalah tanda kerendahan hati. Kerendahan hati memang lawan dari kesombongan. Kerendahan hati, humility, berangkat dari kata dasar humus, tanah. Seorang yang rendah hati menyadari bahwa dirinya hanya debu tanah yang tidak berarti. Apa yang terjadi dalam hidupnya adalah anugerah Allah semata-mata. Tembok kesombongan hanya dapat dihancurkan dengan kesadaran bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang lemah dan tidak berarti.

(Pdt. Addi S. Patriabara pada kebaktian Umum 24 Maret 2019)

You May Also Like

About the Author: gkikelapacengkir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *