Mulai dari Titik Nol

Tentu saja ada bermacam-macam pendapat tentang “titik nol”. Ada yang mengatakan bahwa titik nol adalah mulai dari lahir. Tapi juga ada yang berpendapat bahwa tittik nol adalah ketika seseorang dilahirkan kembali. Apapun pendapat orang tentang titik nol tapi yang jelas dihadapan Allah kita (manusia) bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dihadadan Allah kita miskin karena tidak memiliki apa-apa. Kita mungkin bertitel, kita mungkin berpangkat tetapi di hadapan Allah titel dan pangkat itu tidak menjadikan kita apa dan siapa. Kita mungkin kaya dan mempunyai kedudukan di tengah masyarakat, tetapi sekali lagi di hadapan Allah kita tetap bukan apa-apa dan siapa-siapa. Pemahaman tentang titik nol yang semacam inilah yang harus kita miiliki.

Mari kita bedah satu persatu. Yang pertama “kita miskin dan tidak memiliki apa-apa”. Di hadapan Allah kita tidak terbagi antara kaya dan miskin. Semua adalah miskin karena dosa. Mungkin kita mengatakan bahwa itu tidak mungkin, karena kita mempunyai banyak hal. Uang kitapun banyak, karena itu kita layak disebut kaya. Tetapi sekali lagi, di hadapan Allah kita miskin karena dosa-dosa kita. Dalam 2 Korintus 8:9 sangat jelas bahwa manusia berdosa di hadapan Allah tidak terbagi dalam kaya dan miskin, semua manusia berdosa di hadapan Allah didalam Tuhan Yesus adalah miskin, tetapi justru karena itu Dia yang memiliki segala sesuatu rela menjadi miskin, tidak dilahirkan di rumah penginapan yang layak (Lukas 2:7), terbaring didalam palungan (tempat makan binatang) (Lukas 2:12) dan dikunjungi ole para gembala (lapisan yang paling rendah dalam tatanan masyarakat Yahudi), supaya kita yang miskin menjadi kaya (memiliki segala sesuatu) oleh kemiskinanNya. Karena itu harus ditegaskan bahwa kaya menurut dunia tidak pernah menjadikan kita apa-apa dan siapa-siapa. Sekalipun benar bahwa kekayaan duniawi adalah berkat Tuhan kepada kita dank arena itu GKI tidak anti kekayaan, tetapi harus dikatakan juga bahwa berkat itu kita terima bukan karena kebaikkan dan kesalehan kita (bandingkan dengan 1 Samuel 2:70. Sekalipun benar bahwa Tuhan tidak menghendaki kemiskinan (bandingkan Ulangan 15:4), sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan membenci orang-orang miskin (apalagi dikatakan bahwa karena dikutuk oleh Allah, sehingga mereka menjadi miskin), sebaliknya Tuhan mendengarkan orang-orang miskin (Mazmur69:34). Itu berarti Tuhan mengasihi orang-orang miskin. Yang harus selalu kita sadari adalah uang dan kekayaan memang dapat “menyelamatkan” tubuh, tetapi tidak pernah dapat menyelamatkan jiwa.

Selanjutnya “bertitel dan berpangkat, atau bahkan “mempunyai jabatan tinggi di tengah masyarakat”. Sering kali orang menjadi sombong, tinggi hati dan berpikir bahwa hal-hal ini sangat penting bagi manusia Lalu dengan semua ini, dia seolah-olah menjadi orang lain, harus dihargai dan dihormati kalau tidak, tersinggung dan marah. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa manusia berdosa, sekalipun bertitel, berpangkat atau berjabatan tinggi, dihadapan Allah tidak pernah menjadi orang lain. Sama seperti orang berdosa yang lain, mereka juga akan binasa karena dosa-dosa mereka, karena itu mereka juga membutuhkan keselamatan yang dari Tuhan. Kalau boleh digmbarkan titel dan pangkat atau bahkan jabatan tinggi di tengah msyarakat hanyalah semacam asesoris dalam hidup ini. Memang memperindah hidup ini tapi ia tidak pernah meyelesaikan dosa. Satu-satunya yang menyelesaikan masalah dosa adalah Allah di dalam dan melalui Tuhan Yesus (Kisah Para Rasul 4:12). Jangan pernah berbangga apalagi sombong dengan asesoris itu. Kalau Tuhan mengaruniakan semua itu, bersyukurlah dan pakai itu untuk memuliakan Tuhan dan untuk menjadi berkat bagi sesama.

Kekayaan, titel, pangkat dan jabatan tinggi ditengah masyarakat inilah yang sering menyebabkan kita tidak mulai dari titik nol. Akibatnya sekalipun kita telah menjadi orang Kristen, tetapi hidup kita tidak menunjukkan Kekristenan kita, karena sesungguhnya Kekristenan kita tidak sungguh-sungguh. Hidup kita sama seperti mereka yang belum menjadi orang Kristen. Karena itulah hidup kita bukannya menjadi berkat tetapi sebaliknya malahan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Mereka (bukan Kristen) tidak menjadi Kristen bukan karena orang lain tetapi karena kita. Mereka sering mengatakan: “hidupku (yang belum menjadi Kristen) ternyata masih lebih bik dari mereka (orang Kristen), jadi untuk apa aku menjadi orang Kristen”. Karena itu betapa pentingnya kita mulai dari titik nol. Kita tidak membanggakan kekayaan, titel, pangkat dan jabatan tinggi yang pada suatu saat nanti harus kita tinggalkan; kita tidak bergantung pada kekuatan dan kehebatan kita sendiri tetapi kepada Allah yang telah menyelamatkan kita (bandingkan dengan Mazmur 34:19). Saya tentu tidk tahu dari titik mana anda mulai, saya hanya menganjurkan anda, mulailah dari titik nol.

– Pdt. Em. A. Kermite

You May Also Like

About the Author: gkikelapacengkir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *