Pernikahan Beda Agama dan Perceraian
Hai! Jumpa lagi dengan aku, Si Penjelajah Waktu. Kali ini aku ingin membagi pengalaman penjelajahanku tentang Pernikahan Beda Agama dan Perceraian.
Bagiku, pernikahan itu merupakan pilihan bebas seseorang. Nah, karena pernikahan itu adalah pilihan, maka seseorang harus secara dewasa mempertanggungjawabkan pilihannya tersebut. Untuk itu, sebelum sampai pada pilihannya tersebut, seseorang haruslah bertanya kepada dirinya sendiri: untuk apa menikah, dengan siapa menikah, berapa lama akan menikah (tentunya ini sebuah pertanyaan retoris, ya), dan bagaimana akan menjalani pernikahan seperti yang diinginkan dalam jawaban atas ketiga pertanyaan sebelumnya. Menurutku, dengan bertanya dan menjawab dengan jujur, maka setidaknya seseorang akan lebih siap memasuki kehidupan yang ‘penuh resiko’ yang akan dipilihnya tersebut. Mengapa demikian? Dalam penjelajahanku, aku menemukan ada pasangan suami istri (pasutri) yang menjalani perikahan beda agama, ada pasutri yang mengalami pergumulan bahkan sampai pada perceraian, dan ada banyak juga pasutri yang mampu menjalani dan mempertahankan pernikahannya sampai dengan maut memisahkan mereka berdua. Aku sangat yakin bahwa banyak orang ingin memasuki,menjalani, dan mempertahankan pernikahan sampai maut memisahkan. Dalam pandanganku, orang yang memilih untuk menikah harus menyadari konsekuensi atas pernikahan tersebut, seperti: butuh penyesuaian dan pengenalan terus menerus terhadap pasangan yang nota bene berbeda secara fisiologis, psikologis, kehendak, latar belakang dll. Penyesuaian dan pengenalan itu dibutuhkan dalam rangka menjadi penolong yang sepadan bagi pasangannya.
Bagaimana dengan pernikahan beda agama? Dalam penjelajahanku aku menemukan bahwa GKI tidak menganjurkan anggota jemaatnya untuk menjalani pernikahan beda agama, meski demikian GKI membuka kemungkinan untuk melayani kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah untuk pasangan yang beda agama. Tata laksana GKI pasal 28.1 hanya mensyaratkan “salah satu atau kedua calon mempelai adalah anggota sidi dari Jemaat yang akan melakasanakan ibadah peneguhan dan pemberkatan pernikahan tersebut”. Hal itu berarti bahwa salah satu dari kedua calon pasangan tersebut adalah anggota gereja lain atau bisa juga agama lain, bukan?
Terkait dengan pernikahan beda agama ini, aku mengamati bahwa ada juga orang-orang Kristen yang menolak pernikahan semacam ini. Dan mereka menggunakan ayat Alkitab sebagai dasar atas penolakan tersebut, misalnya: 2 Korintus 6:14-15 tentang pasangan yang tidak seimbang antara orang percaya dan tidak percaya, antara gelap dan terang. Padahal, dalam penjelajahanku, aku menemukan bahwa ayat tersebut dalam rangka tanggapan Paulus terhadap kehidupan orang-orang Kristen Korintus seperti yang diungkapkan Paulus dalam I Korintus 5:9 tentang pergaulan dengan orang-orang cabul. Jadi menurut pendapatku, 2 Korintus 6:14-15 tidak serta merta bisa digunakan sebagai dasar penolakan akan pernikahan beda agama.
Selanjutnya tentang perceraian. Dalam pengamatanku, perceraian itu ibarat “luka” yang membutuhkan penanganan khusus. Oleh karena itu tidak boleh dilihat secara hitam atau putih saja. Dalam penjelajahanku, aku menemukan bahwa perceraian itu merupakan akumulasi dari: sakit hati, dendam, dan / atau keputusasaan salah satu atau kedua orang yang menikah tersebut. Hal-hal inilah yang digunakan oleh orang-orang Kristen yang dapat memahami mengapa timbul perceraian. Akan tetapi ada juga orang-orang Kristen yang menolak dengan menggunakan ayat dari Matius 19:6 atau Markus 10:9 yang berisi ucapan Tuhan Yesus bahwa apa yang sudah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Dalam penjelajahanku aku menjumpai bahwa Matius 19:6 ini terkait dengan tanggapan Tuhan Yesus atas pertanyaan orang-orang Farisi yang mempertanyakan apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja (Mat. 19:3). Pertanyaan itu jelas menunjukkan adanya dominasi budaya patriarkhal, yang memperlakukan istri tidak sebagai penolong yang sepadan. Bahkan ketika orang-orang Farisi itu mendebat dengan dengan memakai pendapat bahwa Musa memperbolehkan cerai dengan alasan zinah, Tuhan Yesus menanggapi dengan pernyataan “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat. 19.8). Ketika aku mencari tahu maksud Tuhan Yesus, aku menemukan bahwa sikap ini adalah sebuah sikap realistis bahwa sebetulnya perceraian itu tidak boleh, namun melihat keadaan yang tidak baik (seperti: patriarkhal, ketidakadilan, kesewenang-wenangan), maka perceraian itu tidak mungkin dihindari. Kalau aku memberikan perumpamaan maka perceraian itu adalah sebuah piihan yang terbaik dari berbagai alternatif yang tidak baik untuk menyelamatkan kehidupan seseorang secara keseluruhan.
Dalam penjelajahanku juga aku menemukan bahwa GKI SW jateng pernah mengambil sebuah keputusan yang dituangnkan dalam Akta Persidangan V Majelis Sinode GKI Jawa Tengah artikel 50 bahwa Majelis Sinode GKI Jateng telah mengesahkan Pedoman Kebijakan Pastoral Menghadapi Masalah Perceraian dan Pernikahan Kedua. Pada prinsipnya, Majelis Sinode bersikap bahwa perceraian itu tidak bisa dilihat secara hitam atau putih saja.
Berbicara tentang pernikahan beda agama dan perceraian ini, aku jadi teringat penjelahanku ke dunia Perjanjian Lama di mana aku berjumpa dengan keluarga Abraham. Saat itu aku melihat Abraham menyuruh Hagar dan Ismael pergi dari perkemahannya (Kejadian 21:8-21). Dalam peristiwa yang melibatkan keluarga Abraham ini, aku melihat adanya fakta bahwa pernikahan Abraham dengan Hagar itu adalah pernikahan yang beda agama (monotheis dan politheis), tujuan pernikahannya pun sudah keliru (yaitu agar membangkitkan keturunan. Itupun atas suruhan sara), terjadi persoalan hak waris anak dan kekerasan dalam rumah tangga baik Sara kepada Hagar maupun sebaliknya, yang akhirnya berujung pada pengusiran (baca: perceraian). Belajar dari peristiwa Abraham ini, mestinya jemaat Tuhan benar-benar memetik hikmahnya.
Dari penjelajahanku tentang pernikahan beda agama dan perceraian ini, maka menurut pendapatku gereja harus melakukan tindakan preventif sedini mungkin untuk membantu dan mendampingi para remaja dan pemuda gereja agar dapat mengambil keputusan yang bertanggungjawab terkait dengan pernikahan mereka kelak. Gereja juga harus melakukan penyembuhan yang sifatnya preventif kepada pasutri-pasutri yang dideteksi membutuhkan pendampingan dan pertolongan agar dapat menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang muncul di dalam kehidupan pernikahan mereka dengan sebaik-baiknya. Selian itu gereja juga bertanggungjawab untuk melakukan penyembuhan yang sifatnya kuratif untuk menolong dan mendampingi orang-orang yang pada akhirnya memilih untuk bercerai dengan merangkul mereka yang terluka tersebut. Dengan perolongan Roh Kudus, aku yakin gereja mampu memberikan pendampingan dan penggembalaan kepada anggota jemaatnya.
Selamat berjuang, hai jiwaku, Tuhan Yesus memberkati. Amin. (GJS)
Dibawakan oleh Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus