Kerapuhan Manusia dalam Narasi “Kota Babel”
Banyak manusia yang berusaha segiat mungkin membangun bisnisnya. Tak sedikit orang yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi menggapai kenyamanan. Dan ada juga insan-insan yang berjerih payah meraih prestasi dan nama besar agar dikenal. Namun apakah kerapuhan yang ada dalam kehidupan justru kita ingin abaikan dengan segala upaya di atas?
Sama seperti kebanyakan manusia di masa kini, pada masa lalu di Kitab Kejadian pun, manusia juga berusaha untuk berkumpul. Sesuai judul, tentu Sobat Cengkir dapat memperkirakan bahwa peristiwa yang akan dibahas tertulis pada pasal 11 dengan judul perikop “Menara Babel”. Dan mereka adalah gambaran dari diri kita juga, menolak kerapuhan. Kok bisa?
Mungkin bagi Sobat Cengkir yang terlahir dalam keluarga Kristen dan aktif dalam kegiatan gereja, kisah ini tidak asing dengan cerita ini. Namun Sobat Cengkir akan dapat melihat perspektif berbeda ketika kita mengetahui sudut pandang dari sumber penyusunan kitab Taurat.
Kitab Taurat, yang di dalamnya adalah Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan diawali dari ucapan mengenai cerita-cerita nenek moyang yang disampaikan kepada keturunannya. Agar cerita mengenai keajaiban Allah tersebut dipahami dengan baik, maka cerita tersebut dituliskan. Dan dalam penelitian studi Alkitab terbaru, kita perlu memahami bahwa kitab Taurat ditulis oleh beberapa kelompok yang berasal dari zaman yang berbeda-beda zaman, sehingga setiap kelompok tersebut memiliki penekanan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks masanya.
- Mazhab Yahwist (Y) abad ke-10 atau 9 SM
- Mazhab Elohist (E) abad ke-8 SM
- Mazhab Deuteronomist (D) abad ke-7 SM
- Mazhab Priest (P) abad ke-6 atau 5 SM
Lho, bukannya penulis kitab Taurat itu satu orang, yaitu Musa? Buktinya apa ada beberapa penulis yang berbeda zaman? Kita dapat melihat kisah penciptaan, di mana terdapat dua bentuk penyampaian yang berbeda, yang pertama Kejadian 1:1-2:a dan yang kedua Kejadian 2:4b-25. Penulisan bagian pertama ditulis oleh golongan Priest, di masa Israel berada di tanah pembuangan, sehingga mereka menekankan agar Bangsa Israel perlu percaya bahwa mereka adalah karya cipta terbaik Allah, walaupun sedang berada dalam masa kesusahan. Penulisan bagian kedua ditulis oleh golongan Yahwist, yaitu di masa kejayaan Salomo, sehingga penulis menekankan manusia itu lemah layaknya tanah, maka jangan sombong. Setiap sumber memiliki cara dan ciri penulisannya sendiri akan berbagai karya Allah dalam kehidupan bangsa Israel.
Kembali pada kisah “Menara Babel” dalam Kejadian 11:1-9, di mana secara keseluruhan perikop ini ditulis dari mazhab Yahwist. Kisah Menara Babel termasuk dalam kisah etiologi, menyatakan tentang kausalitas (penyebab) dan asal-muasal sesuatu. Melalui kisah ini, pembaca memahami sebab terjadinya perbedaan bahasa pada banyak suku bangsa.
Tidak sedikit teolog menyorot kisah ini bahwa Allah menentang kesombongan manusia. Walaupun judul perikop mengarah pada pembangunan menara, penulisan “kota” jauh lebih banyak. Terlebih sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit kerap digambarkan sebagai bentuk kesombongan, karena manusia layaknya berada di bumi. Begitupun tembok kota yang kokoh dan megah, merupakan sebuah upaya agar manusia dikenang hingga kepada keturunan mereka selanjutnya.
Lantas bagaimana seharusnya kita melihat kemanusiaan dalam diri ini? Manusia memang berharga, sebagai karya cipta Allah yang sesuai dengan gambaran Allah dan mendapatkan nafas kehidupan dari-Nya. Namun kita tetap perlu mengingat kerapuhan kita sebagai manusia, tidak terlepas dari kita yang berasal dari debu dan akan menjadi debu. Upaya manusia, baik di masa pembangunan kota Babel, penguasaan bangsa Israel pada masa mazhab Yahwist maupun kita dengan segala usaha menyombongkan diri adalah kesia-siaan. Rengkuhlah kerapuhan.