Setiap masa Natal, kita kerap mendapatkan khotbah dan renungan yang mengenalkan sosok perempuan yang membawa banyak nilai positif. Tokoh tersebut adalah Maria, ibu Yesus Kristus Tuhan kita. Dan tak hanya hadir dalam awal kisah lahirnya bayi Yesus, Maria menjadi pribadi yang turut hingga kematian Yesus Kristus dan juga kebangkitan-Nya.
Bagi sebagian Sobat Cengkir yang lupa atau masih asing dengan sosok Maria, mari kita ulas secara sekilas. Maria merupakan kerabat dari Elisabet, istri imam Zakaria (Lukas 1 : 36). Dengan melihat hubungan darah tersebut, Maria merupakan seorang keturunan suku Lewi dan ia tinggal di kota Nazaret di Galilea (Lukas 1:26). Dalam budaya Yahudi, seorang perempuan bertunangan dan menikah di usia muda, dan dalam penulisan di Matius 1, Maria telah bertunangan dengan Yusuf, seorang keturunan Daud, suku Yehuda. Maria memiliki beberapa anak selain Yesus, yaitu Yakobus, Yoses, Yudas, Simon dan beberapa anak perempuan (Matius 13:55-56).
Terdapat beberapa nilai kehidupan yang kita dapat teladani dari sosok Maria ibu Yesus dan menjadi pandu bagi kehidupan kita.
Turut dalam Panggilan Karya Keselamatan di Usia Muda
Apa sih kesibukan Sobat Cengkir di usia kurang lebih 16 tahun? Jika kita benar-benar fokus pada studi, hal ini menunjukkan kita orang yang bertanggung jawab atas panggilan kita. Begitu pun Maria, yang walaupun memang secara budaya jauh berbeda dengan kita, ia turut dalam panggilan karya keselamatan di usia muda.
Di usianya yang cenderung muda (± 16 tahun), di mana memang perempuan Yahudi telah dijodohkan dalam pertunangan, Maria mendapatkan tanggung jawab yang sangat besar. Kehadiran Malaikat Gabriel yang menyatakan bahwa Maria akan mengandung Yesus Kristus, terlebih dengan kondisi Maria yang belum berstatus menikah dengan Yusuf, menjadi sebuah tantangan. Bagaimana merespons kondisi tersebut, bagaimana dengan perkataan orang banyak, bagaimana dengan masa muda Maria? Nyatanya Maria tidak larut dalam kebingungan manusiawi, ia menyerahkan segalanya pada Tuhan.
Kata Maria kepada malaikat itu: ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
Lukas 1:34
Dalam ketaatan seorang perempuan muda, Maria menerima risiko apabila dia akan dicela dan bahkan dipermalukan karena statusnya yang mengandung di luar pernikahan. Maria pun menerima risiko kemungkinan bahwa Yusuf bisa saja menceraikannya dan bahkan Maria dihukum mati karena dianggap berzinah (Imamat 20:10).
Berbagai ketakutan akan hukum adat yang berlaku tersebut dapat direspons Maria dengan bijaksana. Pernyataan Maria menunjukkan bahwa ia mengetahui nubuatan yang tertulis dalam Perjanjian Lama tentang Mesias yang akan datang. Ketaatan Maria akan rencana Allah berpotensi membawa hal buruk baginya, tetapi ia bersedia menjadi hamba Allah.
Tetap Teguh dalam Penderitaan
Bagi sebagian Sobat Cengkir yang memiliki anak, mungkin sebagian dari kita merasakan kebahagiaan dalam merawat anak hingga tumbuh besar. Namun hal ini berbeda dengan Maria, di mana setelah Yesus lahir, penderitaan dan rasa sakit sebagai seorang ibu tetap ia rasakan.
Peristiwa kelahiran Yesus merupakan nubuatan yang juga dipahami oleh orang-orang Majus akan kelahiran seorang raja besar. Namun karena kegilaan seorang Herodes, ia tidak ingin ada orang yang menggantikannya, ia memerintahkan untuk membunuh semua anak di Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah Dengan Yesus yang masih berusia masih kecil, Maria dan Yusuf harus pergi ke tanah Mesir, jauh dari keluarga untuk menjaga bayi Yesus.
Tak hanya itu, tak sedikit momen Maria mengalami penolakan karena perbedaan sudut pandang dengan Yesus Kristus. Dalam Lukas 2, di mana bangsa Yahudi merayakan Paskah dengan pergi ke Yerusalem, Yesus menghilang dalam perjalanan pulang. Tentu sebagai orang tua, kita panik ketika anak hilang dari pandangan kita. Begitu pun Maria dan Yusuf ketika Yesus hilang dari pandangan mereka. Sayangnya respons Yesus menunjukkan bahwa ia lebih peduli untuk memahami Allah dan dekat dengan Allah dibandingkan dengan Maria sebagai orang tuanya.
Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.
Lukas 2:51
Setelah tumbuh dewasa pun, Maria dan Yesus pun juga tetap kerap mengalami perbedaan pendapat. Dalam Yohanes 2 tentang pesta perkawinan di Kana, menjadi bukti bahwa Maria dan Yesus berbeda pendapat. Namun dengan iman teguh, Maria tetap menuntut Yesus membuat mukjizat pada pesta tersebut. Begitu juga saat Yesus menjadi lebih sering memberitakan Injil dan menyatakan mukjizat, Yesus lebih berfokus untuk menyatakan kasih Allah kepada banyak orang agar mengalami pertobatan dibandingkan menyambut Maria dan keluarganya (Lukas 8:21)
Rela Berkorban demi Terjadinya Karya Keselamatan Dunia
Jika Sobat Cengkir mengetahui hal buruk akan terjadi pada anak kita, apakah kita akan membiarkannya? Tentu kita berusaha mencegahnya. Namun ketaatan Maria akan janji Allah dalam anaknya membuat ia rela berkorban menjadi sosok ibu yang tidak pernah memiliki anaknya secara penuh.
Sejak Yesus ditahirkan, Simeon, seorang yang hidup benar di hadapan Allah telah menyatakan bahwa putra Maria tersebut akan menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan penderitaan (Lukas 2:34-35). Konsekuensi kehadiran sosok-sosok yang dianggap Mesias sebelum kelahiran Yesus pun kerap mendapatkan penghakiman oleh kekaisaran Romawi dengan kematian. Hal tersebut juga terjadi pada Yesus, di mana Yesus bukan hanya sekadar menjadi Mesias yang membebaskan bangsa Israel dari penjajahan, tetapi juga menjadi pembebas manusia dari maut. Maria pun harus berduka karena menyaksikan kematian Yesus di atas kayu salib secara langsung.
Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.
Yohanes 18:25
Marilah kita menjadi pribadi yang juga menyatakan karya keselamatan Allah. Mungkin sebagai orang tua, banyak hal yang kita gelisahkan pada hidup anak kita. Namun dengan didikan yang berlandaskan firman Tuhan, kita dapat menyatakan kasih Allah kepada anak, keluarga dan bahkan semua orang yang mengenal kita.