Merespons Fanatisme Beragama di Ruang Digital
“Dik, jangan mau vaksin ya! Ini mama dapet chat WA dari grup persekutuan, katanya vaksin itu ada chipnya. Ini cara iblis kasih kita tanda 666 di tubuh kita, bahaya dik!” heboh mama sambil memegang handphonenya.
“Ya elah ma, hari gini bangsa kita aja masih fotokopi identitas diri yang katanya udah bersifat elektronik. Teknologi cip seukuran mikroba itu belum ada ma. Lagian ya, masakan Tuhan gak mau kita sehat dan tahan dari penyakit kan ya. Biar yakin sebelum vaksin kita doa dulu aja.”
Mungkin obrolan di atas juga terjadi pada keluarga Sobat Cengkir pada awal masa pandemi dan vaksinasi masih disosialisasikan. Namun fenomena ini bukanlah hal baru, di mana fanatisme beberapa umat beragama terhadap suatu ajaran justru menentang kebijakan pemerintah atau nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Secara pengertian, KBBI menjabarkan fanatisme sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya).
Kita bisa mengelak, lebih menunjukkan agama lain yang menjadi mayoritas di negara ini. Namun jangan lupa, beberapa umat beragama Kristen ketika menjadi mayoritas juga dapat melakukan tindakan fanatisme terhadap mereka yang minoritas. Agama kerap berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk sosial politik dan fanatisme sehingga sejarah pun mencatat adanya kelompok beragama Kristen yang melakukan tindakan keji atas nama ajaran yang mereka pahami. Contohnya adalah penjajahan bangsa Eropa ke berbagai benua dengan menegakkan konsep Gospel di dalamnya, yang berakhir dengan peperangan dan kematian.
Dengan melihat kelompok fanatik baik dari zaman lampau hingga masa kini, kita dapat melihat tiga ciri fanatisme hadir dalam seseorang atau suatu kelompok:
- Mengedepankan emosional daripada rasional;
- Pandangan sempit, hanya kelompoknya yang paling benar;
- Lebih percaya pendapat dibandingkan fakta.
Fanatisme sebagai sebuah paham atau kepercayaan akan semakin menyebar dengan cepat dan mudah di era digital ini. Komunikasi atau penyampaian pesan akan terjadi sangat instan tanpa ada batasan ruang dan dapat diakses kapan saja di era ini. Namun sangat disayangkan di era digital ini tidak semua pemilik media memberikan filter untuk membatasi paham atau kepercayaan yang dimiliki oleh pengirim pesan dan juga. Dengan ketidakjelasan sumber atau landasan penafsiran ajaran agama yang jelas, informasi dapat dengan mudah dipahami seolah-olah benar, padahal belum tentu benar; hal inilah yang disebut dengan kondisi post truth.
Lantas apakah fanatisme adalah hal yang buruk jika diterapkan dalam konteks era digital masa kini? Tunggu dulu Sobat Cengkir, pahami dulu bahwa fanatisme memiliki dua tipe:
- Fanatisme ke dalam. Bentuk fanatisme ini memberdayakan seseorang untuk menjadi pribadi yang berpegang teguh pada ajaran tidak akan berkompromi dengan dosa atau ajaran yang berbeda.
- Fanatisme ke luar. Bentuk fanatisme ini cenderung membabi buta, memaksakan kehendak, gagasan dan juga pemikiran yang seseorang anut kepada orang lain, walaupun latar belakangnya berbeda.
Jadi dari dua tipe fanatisme ini, Sobat Cengkir tipikal Kristen fanatik ke dalam atau ke luar? Kalaupun kita adalah pribadi yang cenderung fanatik ke luar, maka kita dapat menilik satu sosok berikut.
Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.
Filipi 3:8
Paulus dahulu merupakan sosok yang cenderung mewujudkan fanatismenya ke luar. Pada identitas lamanya. Saulus, adalah tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam pemahaman dan lingkungan Yahudi yang keras; ia menjadi sosok yang membenci pengikut Kristus yang dianggap sesat pada saat itu. Dengan ideologi yang anut, Saulus pun sampai menghadap Imam Besar untuk meminta surat kuasa agar dapat mengancam dan membunuh murid-murid Kristus.
Perubahan fanatisme terjadi dalam diri Saulus. Awalnya ia menyampaikan ajaran agama Yahudi dengan paksaan dan kekerasan. Melalui pengenalan dalam Kristus, Paulus menyampaikan kasih Allah dengan lemah lembut bahkan kepada orang-orang di luar bangsa Yahudi. Paulus dapat menjadi contoh bagi kita dalam mengubah sikap fanatisme dalam diri kita serta merespons fanatisme yang terjadi di lingkungan ruang digital kita, yaitu dengan:
- Tinggalkan ruang digital atau forum komunikasi jika sudah suasana komunikasi menghina atau merendahkan pihak lain;
- Cek dulu kebenaran dari setiap informasi yang beredar. Jika informasi tersebut berdampak bagi diri sendiri, maka lakukanlah; tetapi sebaliknya, jika informasi justru cenderung tidak jelas sumber dan terkesan memberikan ketakutan, maka cobalah cari sumber informasi lainnya;
- Tahanlah diri untuk berbagi. Tidak semua informasi yang dirasa baik bagi diri kita juga baik bagi orang lain. Cobalah untuk melihat sebuah informasi, opini dan gagasan dari berbagai sudut pandang. Sobat Cengkir juga dapat meminta saran dan kritik dari rekan atau kerabat yang kamu percaya sebelum berbagi di ruang digital.
So, melihat derasnya informasi di ruang digital kita perlu meminta hikmat pertolongan dari Tuhan agar dapat merespons dengan bijak. Tetaplah menjadi pribadi yang fanatik, semakin mengakar dalam Kristus dan menyampaikan kasih Kristus dengan lemah lembut.
Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.
Efesus 4:2