Iman Kristen dan Budaya Syukuran
“dalam hal ini tiada lagi orang Yunani dan orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.”
Pendalaman Alkitab yang diadakan setiap minggunya oleh GKI Kelapa Cengkir menguak tema “Iman Kristen dan Budaya Syukuran” pada tanggal 05 Oktober 2021. Pendalaman Alkitab yang dibawakan oleh Pdt. Tunggul Barkat Gumelar dari GKI Boyolali.
Berawal dari ketegangan antara kekristenan dan kepercayaan lokal. Kekristenan berpusat pada kuasa Kristus, juga terdapat beberapa poin pendukung, yaitu kebenaran, merupakan umat pilihan, berasal dari bangsa Eropa, dan bisa masuk karena terjadi penjajahan di Indonesia. Sedangkan kepercayaan lokal berasal dari kuasa iblis, merupakan hal yang salah, berasal dari masyarakat Indonesia yang tidak percaya kepada Tuhan dan sebagian besar adalah seorang budak. Kedua hal ini berakhir pada permusuhan.
Jika kita berkaca pada sejarah Indonesia, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung—Orang Kristen Jawa, ia tetaplah seorang Jawa dan tidak menjadi seorang Belanda tetapi ia tetaplah seorang pengikut Kristus yang menjadi penginjil pada awal abad ke-19. Pada 1 Korintus 3:3-9 tertulis; jika terjadi perselisihan dan iri hati, maka kita pengikut Kristus, sama saja manusia duniawi, bukan rohani. Dari ayat tersebut, Allah ingin bawah ketegangan yang terjadi dapat menjadi beban kesaling-mengertian.
Dalam Alkitab juga tertulis tentang ritus pengucapan, hal inilah yang menjadikan kekristenan dan kepercayaan lokal menuju kesaling-mengertian. Pada Kejadian 4:1-16 dengan judul perikop “Kain dan Habel” menyinggung tentang korban persembahan kepada Tuhan, sebagai bentuk rasa syukur. Pada Kejadian 8:20, Nuh juga mempersembahkan korban bakaran bagi Tuhan dan hal itu berkenan di hati Tuhan. Sama halnya dengan ritus pengucapan syukur dalam beberapa budaya di Indonesia. Pada adat Jawa terdapat salah satu upacara sebagai bentuk rasa syukur, tradisi ini bernama Slametan. Pada Slametan, hal yang dilakukan adalah berdoa dan makan bersama atas terjadinya hal-hal penting, seperti kelahiran, pernikahan, panen, atau kematian. Tidak hanya Slametan, di Indonesia masih terdapat banyak ritus ucapan syukur yang dilakukan, seperti Riyoyo Unduh-Unduh, Bebaritan atau Sedekah Bumi, dan masih banyak lagi.