Jujur terhadap Diri Sendiri, Kunci Menghindari Toxic Positivity
Kerapuhan merupakan bagian dari proses iman. Mulailah bersikap jujur terhadap diri sendiri, justru membuka diri untuk berproses di dalam kasih karunia Allah.
Sesuatu yang positif bisa-bisa menjadi toxic, mengganggu, atau meracuni. Tak jarang, sesuatu hal yang positif disalahgunakan karena kita mengabaikan emosi negatif. Oleh karena itu, timbullah istilah toxic positivity. Sederhananya, toxic positivity adalah keyakinan yang nggak wajar bahwa kita harus berpikir positif dalam situasi apapun.
Pemahaman Alkitab seri “Toxic” pada minggu keempat di bulan Agustus ini, bertemakan Toxic Positivity yang dilayani oleh Pdt Daniel K Gunawan (GKI Coyudan).
Sobat Cengkir, mungkin pernah mendengar perkataan orang lain seperti “Percayalah! Ini bagian dari rencana Tuhan!”, “Penderitaanku belum ada apa-apanya sama yang lain”, atau “Harus kuat! Harus bisa dihadapi”.
Tiga contoh kalimat di atas seakan-akan sebagai kalimat penghiburan yang dapat menjadi penghakiman bagi orang yang ditimpa kemalangan. Lalu, korban toxic positivity ini jadi beranggapan “Oh, nggak boleh ya aku lemah”, “Oh nggak boleh ya aku sedih”, atau “Oh nggak boleh ya aku rapuh”. Padahal secara realitanya, kesedihan itu wajar terjadi dalam pengalaman hidup kita sehingga tiga contoh kalimat di atas seolah-olah positif, tapi tidak tepat digunakan.
Meneladani kisah Ayub yang kehilangan harta dan anak-anaknya. Kondisi Ayub yang sempat naik turun dan hampir menyerah terhadap hidup yang dijalaninya. Namun, dia bertanya terus kepada Allah, maka ia menemukan Allah. “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian.” (Ayub 12:3).
Michael Yaconelli menulis buku “Messy Spirituality” atau “Kerohanian yang Kacau”. Buku tersebut menceritakan tentang Michael Yaconelli yang sebagai pendeta mengkritik gereja yang tutup mata terhadap kerapuhan umatnya. Akhirnya, ia menerima umat yang memiliki kehidupan berantakan, seperti pecandu narkoba, PSK, atau seseorang yang senang berhalusinasi. Sedangkan, gereja-gereja lain seringnya tidak mau menerima kerapuhan jemaat-Nya. Michael dalam bukunya berkata, “Jujurlah terhadap kekacauan yang dihadapi. Iman sejati berawal dari kejujuran tentang kekacauan dan ketidakberdayaan kita menghadapi situasi,” -Michael Yaconelli.
Kesimpulannya, kalau kita berpikiran harus selalu positif justru kita mengabaikan kejujuran diri atas emosi negatif yang dialami. Saat kita mengakui kerapuhan kita, justru dengan itu kita akan menemukan Allah dalam kerapuhan kita, yang menyertai dan menemani kita melewati proses ini. Dengan itulah kita belajar mempercayai Allah.