Bagi teman-teman yang belum bisa menerima kami, tidak perlu membenci kami. Cukup diam saja. – Rere
Menutup bulan Juli 2021, Youth GKI Kelapa Cengkir menyelenggarakan acara “kopdar” bersama seorang transpuan, Rere Agistya. Kisah hidupnya menarik perhatian peserta Zoom pada saat itu, sehingga banyak sekali pertanyaan yang diajukan selama sesi sharing berlangsung.
Sebelum kita bahas lebih dalam, apakah kalian sudah tahu arti transpuan? Ya, transpuan itu adalah singkatan dari transgender perempuan. Seperti yang kita tahu bersama, tak jarang beberapa pihak di negara kita ini kurang menghargai kehadiran transpuan dengan tindakan bullying, mengolok-olok, atau menjadi bahan lelucon semata. Bahkan sempat viral kasus seorang Youtuber yang secara sengaja membuat konten prank ke transpuan yang dianggap tidak manusiawi.
Pada pertemuan ini, Rere membagikan cerita tentang awal kisah dirinya dan teman-teman transpuan di masa kecil. Rata-rata kekerasan dan bullying sejak masih kecil dari lingkungan terdekat bahkan orang tuanya sendiri menyebabkan ketidaknyamanan. Akhirnya mereka kabur dari rumah sebelum masa dewasa yang akhirnya bingung sendiri dengan identitasnya, apalagi untuk mereka yang kabur sebelum usia 17 tahun dan belum punya KTP. Selanjutnya, timbul masalah-masalah baru meskipun mereka memiliki pendidikan tinggi atau skill.
Terlebih lagi, di masa pandemi kehidupan transpuan semakin perih. Rata-rata mereka bekerja sebagai pengamen, hair stylist, dan make up artist namun karena pandemi banyak sekali pembatasan berkala sehingga berpengaruh terhadap pemasukan. Hampir 90% dari mereka, pendapatan transpuan berkurang menjadi 50%. Bahkan untuk kebutuhan pangan pun sulit terpenuhi.
Pertama kali orang tuanya mengetahui status dirinya transpuan, kedua orang tuanya tidak menerima dan bertanya “Apakah kamu salah pergaulan?”, “Bagaimana nanti menikah?”, dan “Bagaimana nanti suatu saat pada proses penguburan?”. Singkat cerita, Rere pun perlahan-lahan berusaha menjelaskan dan meyakinkan keputusannya tersebut lebih nyaman untuk saat ini dan berkomitmen tetap berkembang menjalani kegiatan positif lainnya yang dapat menginspirasi teman-teman transpuan lainnya melalui Sanggar Swara.
Apa itu Sanggar Swara? Sebuah perkumpulan transpuan muda yang dibentuk pada Juni 2016, yang berfokus pada isu-isu pendidikan, pemberdayaan, advokasi, dan manajemen krisis transpuan muda di wilayah Jabodetabek.
Ketika di tengah sesi, topik pembahasan acara ini semakin menarik perhatian. Pasalnya, ada salah satu peserta yang bertanya terkait panggilan atau kata sapaan apa yang tepat sebenarnya untuk transpuan? Rere pun menjawabnya, “Paling universal panggil ‘kakak’ saja.” Mungkin selama ini kita justru akrabnya dengan istilah waria atau wanita pria, atau wadam (hawa dan adam). Rere meluruskan bahwa di balik istilah itu ternyata memiliki sejarah. Panggilan atau istilah waria atau wadam itu dibuat pemerintah zaman dahulu untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang sehingga muncul diksi tersebut. Kini panggilan transpuan sudah mulai digaungkan untuk penyebutan yang jauh lebih ramah.
Seperti perempuan pada umumnya, cantik adalah kata sifat yang juga diinginkan teman-teman transpuan. Berbagai cara pun dilakukan, misalnya terapi hormonal yang perlu mengonsumsi obatnya juga untuk menambah hormon yang dibutuhkan tubuh. Namun, sayangnya kasusnya ingin cantik jadi faktor membahayakan bagi teman-teman transpuan karena dijalani tahapannya tanpa ada dampingan dari ahlinya. Jadi, mereka melakukan suntik silikon sendiri yang berujung kematian karena tidak adanya biaya untuk konsultasi kepada pihak yang berkompeten.
Sebelum pertemuan ini berakhir, Pdt. Stephen Suleeman dari GKI Gading Indah menyampaikan pesan kepada kita semua, “Sambutlah mereka karena mereka juga bagian dari kita. Tidak perlu dibeda-bedakan hanya karena berbeda dalam mengekspresikan gender. Sebab, mereka sebenarnya normal juga dengan ukurannya masing-masing. Mulailah menggunakan ucapan yang positif seperti menghindari istilah-istilah kasar: waria, wadam, bencong dan beralih ke transpuan. Ruang lingkup tempat beribadah untuk mereka kendalanya karena dicemooh, tapi kalau kita di sini menerima semua tanpa melihat perbedaan.”