Renungan Mata Iman

Ketika Tuhan Absen – Refleksi Ibadah Pembinaan 2

Pernahkah Sobat Cengkir melihat orang yang menanyakan keberadaan Tuhan di masa sulit mereka? Atau Sobat Cengkir juga pernah menanyakan, “Tuhan di mana? Kok gak ada? Lagi absen kah Tuhan?”

Konon ketika umat Kristen menderita, mungkin sebagian dari kita berpikir dalam waktu segera Tuhan akan bantu, Tuhan tidak akan tinggal diam. Mungkin hal tersebut benar, tapi mungkin juga hal tersebut belum tentu benar. Kitab Ayub sebagai bagian dari kitab hikmat, mengundang kita untuk memahami kerumitan kehidupan dalam mencari kehendak Allah. Dalam hidup yang kompleks, penuh pertanyaan yang belum tentu dapat terjawab secara langsung, terlebih kaitannya dengan penderitaan, kitab Ayub inilah yang membantu kita memahaminya.

Secara singkat, mungkin Sobat Cengkir memahami Ayub sebagai pribadi yang takut akan Allah dan sungguh percaya pada Allah. Di awal kitab, Ayub mendapatkan penyakit kulit secara parah, harta habis, anak-anaknya meninggal, dan istrinya mencaci maki, sebuah penderitaan yang dahsyat. Dan di bagian akhir, Allah mengembalikan berkali-kali lipat.

Menurut Pdt. Joas Adiprasetya, dalam Ibadah Pembinaan 13 Juni 2021, letak persoalannya adalah cara membaca yang berfokus pada bagian awal serta bagian akhir, pasal 1-2 dan pasal 42. Cara membaca ini membentuk konsep yang terlalu sederhana dalam kehidupan sebagian orang Kristen, bahwa “Ketika kita menderita, Allah akan membangun kembali pada akhirnya.” Sangat disayangkan pembacaan pada bagian tengah, yaitu bagian proses, kerap diabaikan, bagian di mana Ayub bergumul dengan kompleksitas hidup. Hidup berhikmat bukan tentang awal dan akhir saja, tapi ada proses yang panjang di tengahnya, lewat berbagai rutinitas, jatuh-bangun, naik-turun dan kompleksitasnya. 

Kitab Ayub pasal 23 merupakan jawaban Ayub terhadap tuduhan Elifas, sahabat Ayub, yang menyatakan Ayub yang memiliki dosa. Tentu hal ini menyebalkan ketika kita sedang sakit, mendapatkan persoalan atau menderita justru sahabat kita mengulik dan memaksa mengakui dosa-dosa yang tidak dilakukan, hanya dikarenakan praduga atas penderitaan yang kita alami. Mungkin kita tidak terima, sama seperti yang dirasakan Ayub. Sahabat yang seharusnya merangkul, justru menuduh kita tanpa empati. Saking jengkelnya, Ayub menyebut mereka sebagai “penghibur sialan”.

Pasal 23 menunjukkan kegamangan dari Ayub yang mencari Allah dengan serius, namun ia merasakan ketiadaan Allah. Ayub mengungkapkan pada pasal 23:8-9: 

Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia; di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke selatan, aku tidak melihat Dia.

Mungkin hal ini yang mungkin terjadi pada sebagian orang yang sedang merasakan penderitaan. Di mana orang tersebut sudah berusaha menjalankan hidup sesuai kehendak Allah, mencari Allah, tetapi tidak menemukannya. Namun ungkapan dari ayat di atas seolah menjadi sebuah kebalikan dari Mazmur 139:7-10:

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

Kedua penulis kitab hikmat di atas menyembah Allah yang sama, namun berbeda pandangan. Apakah ketidakadilan terjadi pada kisah Ayub dan sang Pemazmur? Bagaimana dengan ketidakadilan yang terjadi pada hidup Kain dan Habel, Yakub dan Esau, serta banyak tokoh Alkitab lainnya. Dengan menggunakan akal berpikir manusia, kita tidak akan tahu jawaban yang pasti dari misteri Allah, yang ada hanyalah praduga. Allah tidak bisa terpenjara oleh seperangkat hukum agama, sebab Allah adalah Allah yang hidup, melampaui pikiran manusia dan kita tidak bisa menyetir Allah, di mana Allah lebih dari sekadar doktrin.

Dari kisah Ayub, kita dapat melihat dua hal: Pertama, perjalanan hidup kita adalah perjalanan antara Allah yang hadir dan Allah yang tak hadir, Allah yang bersuara lantang dan Allah yang diam. Dan kedua, kita belajar dari Ayub yang tidak menyerah dan memilih untuk tetap bergumul, memperkarakan hidupnya kepada Allah, membuktikan bahwa Allah adalah yang terpenting dalam hidupnya. Hal ini dapat kita baca pada pasal 23:11:

Kakiku tetap mengikuti jejak-Nya, aku menuruti jalan-Nya dan tidak menyimpang.

Walaupun Ayub tidak dapat merasakan kehadiran Allah, Ayub masih bisa melihat jejak kaki Allah. Kita atau orang-orang yang sedang tidak dapat merasakan kehadiran Allah pun juga bisa mengikuti jejak Allah, lewat alam ini, segala peristiwa kehidupan termasuk kondisi yang sedang tidak baik, dan ikuti jejak tersebut. Ketika kita tidak merasakan kehadiran Allah, tidak berarti Allah tidak hadir; Allah hadir dalam ketidakhadiran-Nya. Bagaikan anak bayi yang tidur dengan lampu yang dimatikan, anak bayi mungkin menangis mencari kehadiran ibunya, tetapi ibunya tetap mengawasi sang anak dalam tangis kegelapan. Tetap carilah Dia dalam ketidakhadiran yang kita rasakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Selamat Datang di GKI Kelapa Cengkir, ada yang bisa kami bantu?