Baca kitab Pengkhotbah kok isinya sia-sia mulu? Masa yang kita kerjakan selama ini sia-sia? Gak mungkin dong, udah punya banyak aset, lagi di posisi kerjaan yang baik, gelar mentereng, dibilang sia-sia?
Mungkin kesan inilah yang sebagian dari kita rasakan ketika pertama kali membaca kitab Pengkhotbah. Sebagian dari kita bisa saja ragu maksud dari kitab ini, bahkan menolak sebagian isinya di mana sebanyak 30 kali kata “sia-sia” dituliskan. Oleh sebab itu, melalui Ibadah Pembinaan GKI Kelapa Cengkir, Minggu, 6 Juni 2021, Pdt. Gatot Pujo Tamtama mengajak Sobat Cengkir untuk menggali hikmat dari Pengkhotbah.
Sebelum kita memahami makna kesia-siaan, kita perlu memahami lebih dahulu dua tokoh dalam kitab Pengkhotbah.
- Tokoh pertama yang nampak pertama adalah penulis, atau lebih tepatnya tokoh yang mengumpulkan perkataan dari Pengkhotbah, yang mengajak kita untuk mendengar pandangan Pengkhotbah pemikir. Tokoh ini muncul pada Pengkhotbah 1:1 dan 12:9-14, mengawali dan mengakhiri kitab Pengkhotbah.
- Tokoh kedua adalah tokoh yang kerap kita panggil sebagai Sang Pengkhotbah, yang menjadi nama Kitab dari terjemahan baru Lembaga Alkitab Indonesia. Dalam kitab terjemahan New International Version ia dipanggil sebagai The Teacher, dalam kitab Bahasa Jawa 1981 ia dipanggil Sang Kohelet, dan pada terjemahan Bahasa Indonesia Masa Kini dipanggil sebagai Sang Pemikir. Tokoh ini muncul pada Pengkhotbah 1:2-12:8.
Pada penulisan bahasa Ibrani, tokoh pertama memperkenalkan tokoh pertama dengan sebutan קוהלת (baca: Qohelet) yang akar katanya adalah קהל (baca: Qahal), yang berarti “umat”. Oleh sebab itu kita akan menemukan kitab Pengkhotbah dalam berbagai kitab terjemahan bahasa Inggris dengan nama “Ecclesiastes” yang berarti jemaat.
Lantas siapakah Qohelet yang dimaksud? Pemberian keterangan bahwa Qohelet sebagai anak Daud, merupakan bagian dari sebuah gaya sastra di mana Qohelet bukanlah secara langsung merujuk pada Salomo. Relatif banyak tulisan hikmat kebijaksanaan Israel menyatakan diri sebagai “anak Daud” agar pemikirannya lebih dapat diterima bagi banyak orang.
Kitab Pengkhotbah yang berisikan pemikiran Qohelet merupakan salah satu tulisan hikmat yang masuk dalam Alkitab, selain kitab Ayub, Mazmur, Amsal dan Kidung Agung. Tulisan hikmat kebijaksanaan merupakan salah satu warisan yang diberikan oleh tradisi Israel Kuno, selain tulisan kitab Taurat yang diwariskan oleh tradisi para imam dan tulisan kitab nabi-nabi yang diwariskan oleh para nabi. Berlandaskan pengalaman sehari-hari, orang berhikmat meyakini dan mengajarkan bahwa manusia dapat meraih sesuatu yang baik apabila memahami akan adanya hukum sebab akibat, orang benar akan mendapatkan hadiah, orang jahat akan menerima hukuman; singkatnya ada sebab, maka ada akibat.
Qohelet menyatakan hal berbeda, ia mengkritik kepada tradisi orang berhikmat, di mana hikmat belum tentu membawa kesuksesan dalam hidup. Pengkhotbah berpendapat bahwa segala sesuatu sia-sia, melalui eksplorasi kehidupan, dia mendapatkan realita yang menjadi kegelisahan, bahwa:
- Manusia tidak bisa mengendalikan kehidupan ini.
- Allah adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh manusia.
- Manusia pada akhirnya akan mati.
Kata “sia-sia” atau dalam bahasa Ibrani הֶבֶל (baca: hebel) inilah yang kadang disalahpahami oleh beberapa orang. Sia-sia bukan berarti tanpa makna, tetapi menekankan kefanaan, sementara, tidak abadi, di mana merujuk pada hal yang rapuh, yang nampak seketika, seperti uap atau hembusan nafas. Salah satu contoh nyata adalah tokoh Habel dalam kitab Kejadian, di mana dalam bahasa Ibrani הֶבֶל memiliki akar kata yg sama, merupakan tokoh dengan kisah hidup yang singkat.
Lantas dalam kehidupan yang singkat dan tidak abadi, penuh kerapuhan di berbagai aspek, apakah hidup dengan sembrono dan asal-asalan? Tentu tidak, Sobat Cengkir perlu memaknai kesia-siaan hidup dengan sudut pandang yang tepat seperti penyampaian Qohelet, bahwa:
- Kita perlu menghargai kehidupan dengan kesadaran bahwa kita akan mati. Syukuri segala berkat dari Allah yang Dia berikan setiap hari dan kerjakan tanggung jawab yang Allah berikan kepada kita.
- Kita perlu takut akan Allah. Hanya Allah yang abadi, setiap kita manusia akan tergantikan oleh generasi yang baru, setiap harta benda dapat sirna dalam seketika, maka kita tidak bisa berpegang dan berpengharapan pada hal yang sementara. Oleh sebab itu kita perlu berpegang pada setiap perintah-Nya
Selami bahwa segala sesuatu dalam kehidupan kita hanyalah bersifat sementara bagaikan uap. Aset dengan harga fantastis, jabatan pekerjaan yang dihormati, gelar mentereng serta berbagai aspek kehidupan memang patut untuk kita hargai, syukuri dan harus dikerjakan agar menjadi berkat bagi orang lain. Dan hal yang lebih penting lagi adalah terus bertaut pada Allah yang kekal, bukan menggenggam hal-hal yang akan sirna dengan lekas.