Yosua 5:9-12; Mazmur 32; 2 Korintus 5:16-21; Lukas 15:1-3,11-32
Ada banyak penyebab manusia membangun “tembok permusuhan” dengan sesama. Penyebab pertama adalah manusia tidak siap berhadapan dengan perbedaan. Perbedaan membuat manusia saling bermusuhan, mulai dari perbedaan pilihan politik, agama (gereja), suku, pendapat dsb. Penyebab yang lain adalah dalam berelasi dengan sesama, manusia kerap punya ukuran terhadap sesamanya untuk bersikap seperti yang kita mau. Akibatnya, ketika sesama melakukan hal yang tidak sesuai dengan kemauan atau harapan kita, permusuhan kerap tidak terelakkan.
Firman Tuhan di Minggu Sukacita pada Pra Paskah IV berbicara tentang kasih Tuhan yang mengampuni dan menerima semua orang. Cara yang ditempuh Allah untuk mengampuni dan menerima semua orang adalah dengan melakukan karya pendamaian antara Allah dan manusia di dalam Kristus. Orang yang berdosa dikasihi dan bukan dianggap sebagai musuh. Allah yang meruntuhkan “tembok permusuhan” dengan manusia itu justru kontras dengan sikap manusia yang sering membangun “tembok permusuhan” dengan sesama. Dalam bacaan Injil, orang-orang Farisi dan Ahli Taurat menganggap bahwa Yesus tidak pantas bergaul dengan orang berdosa. Sebagai orang yang saleh, mereka merasa pantas memusuhi sesamanya sekaligus menganggap sikap Yesus yang bersahabat dengan orang berdosa adalah ketidakpantasan dan tidak sesuai dengan kemauan mereka. Untuk itulah, perumpaan tentang “anak yang hilang” dipakai untuk menunjukkan kebesaran kasih Allah yang menerima semua orang baik mereka yang dianggap saleh maupun orang berdosa.
Firman Tuhan semestinya kita respon dengan bersedia meruntuhkan “tembok permusuhan” dengan 3 hal penting:
Pertama, merayakan kasih dan pengampunan Tuhan yang sudah kita terima. Kasih dan pengampunan Tuhan sering menjadi hal yang kita anggap biasa. Ketakjuban kita akan cara Allah memilih jalan pendamaian dan bukan jalan penghukuman bagi manusia berdosa adalah hal yang harus kembali dibangun. Syukuri dan alamilah jalan pendamaian Allah yang menakjubkan itu, sebab jalan itu jalan yang repot dan rumit yang dengan sengaja dipilih Allah.
Kedua, alamilah kasih dan pengampunan Allah yang mendamaikan kita dengan diri sendiri. Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat membiarkan diri mereka hidup dalam rasa iri melihat kasih Yesus kepada orang berdosa. Mereka merasa lebih pantas, butuh diakui dan ingin menunjukkan keberadaan diri mereka yang lebih baik dan lebih saleh. Sikap ini menunjukkan sikap belum bisa menerima dan berdamai dengan diri sendiri, karena iri dengan orang lain dan butuh diakui keberadaan mereka. Mengalami pendamaian dengan diri sendiri membuat kita menerima diri dengan segala keberadaan kita sebagaimana Allah menerima kita sebagaimana kita ada.
Ketiga, alamilah kasih dan pengampunan Allah yang mendamaikan kita dengan sesama. Pengalaman dikasihi Allah membuat kita bisa meruntuhkan tembok permusuhan dengan sesama kita. Pengalaman dikasihi Allah membuat kita jujur melihat diri sendiri juga sebagai orang yang berdosa tetapi yang sangat dikasihi Allah. Pengalaman dikasihi Allah membuat kita mampu mengasihi dan mengampuni sesama yang melukai kita.
(Pdt. Sari Haswaraningtyas pada kebaktian Umum 31 Maret 2019 Pk. 06.30 & 09.00)