Q & A Minggu Pembinaan – Menikah Lagi, Emang Boleh?
Pertanyaan 1 – Bp. Suhartono
Pertanyaan :
Pembahasan dalam Ibadah Pembinaan dengan tema ”Menikah lagi, memang boleh?” yang
disampaikan pada tanggal 7 Juli 2019, lebih ditekankan pada pernikahan kembali akibat dari
perceraian. Kemudian dalam Matius 19 : 9, dikatakan bahwa : Yesus menegaskan barangsiapa
menceraikan istrinya (kecuali karena zinah), lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat
zinah.
Yang menjadi pertanyaan : Bagaimana kalau perceraian akibat dari salah satu pasangan
meninggal dunia? Apakah pasangan yang masih hidup boleh menikah lagi? Terima kasih.
Jawaban:
Janji mempelai di dalam liturgi peneguhan dan pemberkatan pernikahan menyatakan: ….(nama
mempelai), di hadapan Allah dan jemaatNya, aku mengaku dan menyatakan menerima dan
mengambilmu sebagai istriku/suamiku. Sebagai suami/istri yang beriman, aku berjanji akan
memelihara hidup kudus denganmu, dan akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan
maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, dan tetap merawatmu dengan setia,
sampai kematian memisahkan kita.
Oleh karena itu, jika suami/istri meninggal dunia, maka janda/duda tersebut boleh menikah
lagi. Terhadap duda/janda yang akan menikah lagi, kita sebagai gereja juga perlu melakukan
pendampingan pastoral yang optimal sehingga yang bersangkutan dapat mengambil keputusan
yang tepat.
Pertanyaan 2 – Bp. Handy
Pertanyaan :
Prinsip monogami dari kitab Kejadian tidak diikuti oleh nenek moyang Israel (misal: Yakub,
Daud, Salomo). Apa ada dasar lain dari Perjanjian Baru tentang monogami?
Jawaban:
Di dalam surat Titus 1:6, salah satu syarat penatua pada saat itu adalah yang mempunyai hanya
satu istri. Di tengah-tengah maraknya poligami dalam kehidupan masyarakat pada saat itu,
sangat mungkin para anggota jemaat juga ada yang melakukannya. Oleh karena itu, salah satu
persyaratan bagi anggota jemaat untuk dapat dipilih dan diteguhkan sebagai penatua pada saat
itu ialah yang menerapkan monogami.
Pertanyaan 3 – Bp. Steve
Pertanyaan :
Bila ada seorang suami, di mana isteri mengalami koma, lalu suami diketahui adakan hubungan
gelap dengan wanita lain, lalu orangtua pihak isteri melalui proses pengadilan meminta isteri
menceraikan suami. Apakah atau yang mana yang melanggar ajaran gereja GKI pada umumnya?
Atau melanggar firman Tuhan Yesus Kristus?
Jawaban:
Di dalam hal perceraian, Alkitab bersikap dialektis. Perceraian tidak dianggap enteng dan bukan
bagian dari desain keluarga, tetapi tidak selalu ditolak secara mutlak. Contoh: Yesus menolak
perceraian, tetapi Ia mengizinkan perceraian karena perzinahan (Injil Matius 19:4-6, 9).
Tugas gereja bukanlah mengoleksi pengecualian-pengecualian terkait dengan perceraian yang
ada di dalam Alkitab, lalu menjadikannya peraturan baru yang dibakukan. Misal: Jika terjadi
perzinahan, maka harus bercerai. Bila kasus A, B, atau C, maka boleh bercerai. Jika terjadi D, E,
F maka tidak boleh bercerai.
Tugas gereja bukanlah menyusun aturan tersebut agar bisa menjawab dengan cepat setiap
kasus perceraian dan pernikahan kembali. Namun, gereja perlu melakukan pendampingan
pastoral yang optimal kepada pihak terkait. Salah satu fungsi pendampingan pastoral yaitu
membimbing. Kita dapat membantunya dengan memberikan informasi yang diperlukan,
menyajikan hal negatif dan positif dari setiap keputusan yang akan diambil. Keputusan terakhir,
tetaplah di tangan orang yang didampingi.
Pertanyaan 4 – Bp. Rendy Putra
Pertanyaan :
Jika seorang laki-laki menikahi wanita yang bercerai bukan karena zinah, apakah pernikahan
itu masih dianggap suci?
Jawaban:
Pasangan yang telah bercerai mungkin masih mengalami rasa marah, dendam, dan luka hati
yang mendalam. Hal ini mesti diatasi dengan sikap menerima kenyataan perceraian dan
memaafkan pasangannya. Tanpa penyelesaian secara tuntas terhadap pernikahan yang
pertama, seseorang sebaiknya jangan menikah kembali. Jika seseorang belum sampai pada
tahap memaafkan lalu menikah kembali, bisa terjadi perceraian di kemudian hari (hal. 34
Buku Panduan Pendampingan Perceraian dan Pernikahan Kembali, BPMSW GKI SW Jateng
tahun 2018).
Jadi terkait dengan pernikahan kembali, kita sebagai gereja perlu melakukan pendampingan
pastoral secara optimal: Pendampingan untuk pengampunan agar menjadi pribadi yang utuh,
pendampingan untuk menemukan kebutuhan pasangan yang akan menikah kembali,
pembekalan untuk pasangan yang akan menikah kembali, dan pendampingan pasangan yang
telah menikah kembali.
Itulah yang perlu kita lakukan, bukan disibukkan dengan penilaian tentang suci atau tidaknya
sebuah pernikahan.
