”DALAM BADAI TUHAN BERTINDAK”
”DALAM BADAI TUHAN BERTINDAK”
(Ayub 38:1-11; Mazmur 107:1-3, 23-32; 2 Korintus 6:1–13; Markus 4:35-41)
Tema khotbah pada hari Minggu 24 Juni 2018 yang lalu adalah “Dalam Badai Tuhan Bertindak”. Kata “badai” bisa menunjuk pada hal yang sesungguhnya, yakni: angin ribut atau taufan (seperti yang terjadi di Danau Toba, dengan karamnya sebuah kapal motor bermuatan lebih dari yang seharusnya), tetapi juga bisa menunjuk sebagai simbol dari aneka persoalan yang kita hadapi, seperti: sakit-penyakit,krisis ekologi,kematian anggota keluarga yang kita kasihi,dsb.
Bagaimana respons manusia saat menghadapi badai kehidupan? Bisa jadi ada yang bersungut-sungut, marah kepada Tuhan, mengutuki Tuhan. Tapi ada juga yang menaruh percaya dan bersyukur kepada Tuhan. Bukan tidak mungkin hal terakhir tersebut termasuk jarang atau berat untuk dijalani.
Di sisi lain, kenyataan hidup kita menunjukkan bahwa yang namanya “badai” itu akan selalu mewarnai kehidupan kita, sekecil apapun persoalan itu, misalnya: sikap sinis dari teman sekantor karena kita bersikap benar, anggota keluarga jatuh sakit, jagoan kita di Piala Dunia keok, rekan sepelayanan yang iri dan ingin menjatuhkan kita, dsb.
Nah, jika memang kehidupan ini mungkin sekali memperhadapkan kita pada badai, lantas bagaimana kita bisa memaknai hal ini? Tiga bacaan leksionaris, bisa memberi petunjuk kepada kita, yakni:
a. Dari bacaan Injil (Mrk.4:35-41), kita melihat bahwa badai kerap dimaknai sebagai sesuatu yang berpotensi mendatangkan maut,sehingga para murid menghadapinya dengan begitu takutnya sehingga kehilangan iman percaya (lih.ay.40). Padahal, Yesus ada bersama mereka. Nampaknya, badai kehidupan yang terjadi, jika dimaknai sebagai bahaya yang mendatangkan maut,menggelapkan mata fisik dan mata batin (iman) seseorang,sehingga tidak bisa menyadari kehadiran Tuhan bersamanya. Dari kisah ini,kita belajar lebih lanjut bahwa tatkala menghadapi badai kehidupan,rasa gentar itu wajar ‘tuk dialami; tapi jangan sampai membuat kita kehilangan iman, sebab Ia sesungguhnya berkuasa atas kehidupan kita.
b. Dari bacaan pertama, Ayub 38:1-11, kita bisa melihat makna lain dari badai, yakni bahwa Allah – dalam kemahakuasaan-Nya, ternyata ada dalam badai. Perhatikan ayat 1: “Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub…”. Dengan catatan yang seperti ini, badai seharusnya tidak melulu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan (karena mengancam kehidupan), tapi badai juga dapat dilihat sebagai tanda kehadiran diri-Nya. Karena itu, hal yang perlu dibangun adalah sikap percaya bahwa di tengah badai sekalipun Allah tetap berkuasa untuk menolong kita.
c. Dari bacaan kedua, 2 Korintus 6:1-13, kita belajar dari Paulus bahwa “badai” kehidupan yang terjadi merupakan kesempatan untuk mewartakan Injil (Kabar Baik). Sebagai rasul ia pernah mengalami penderitaan, kesesakan dan kesukaran. Paulus pernah didera, dipenjarakan, diusir lewat rusuh massa dan sebagainya. Akan tetapi, sikap Paulus dalam menghadapi semuanya itu bukanlah dengan bersungut-sungut. Tidak juga marah kepada Allah – padahal yang dikerjakan Paulus adalah pekerjaan Allah. Paulus juga tidak membalas perlakuan kasar dan jahat pada dirinya. Kunci Paulus dalam menghadapi “badai” adalah: pertama, keyakinannya akan janji serta kasih karunia Allah(lih. ay. 2); kedua, Paulus menyadari siapa dirinya, yakni sebagai pelayan Allah. Sebagai pelayan Allah, ia perlu menunjukkan keluhuran kualitas diri. Karena itu, sekalipun menderita, mengalami kesesakan dan kesukaran, Paulus coba menahan itu semua dengan penuh kesabaran (ay. 4).Dengan kata lain, “badai kehidupan” yang Paulus alami merupakan kesempatan baginya untuk menunjukkan siapa dirinya, yakni utusan (baca: rasul) Yesus Kristus untuk mewartakan Kabar Baik.Bagaimana dengan kita? Tatkala kita menghadapi badai kehidupan, apakah itu menjadi kesempatan bagi kita untuk menyaksikan kuasa dan kemurahan Allah?
Pdt. Natanael Setiadi (pendeta GKI dengan basis Jemaat GKI Kayu Putih).